BERITA UTAMA
EKONOMI
HEADLINE
NASIONAL
0
Kerja Mati-matian Tapi Tetap Miskin? Ini Fakta Mengerikan di Indonesia 2024!
JAKARTA | Suarana.com - Di tengah gempita pertumbuhan ekonomi, Indonesia menghadapi realitas pahit: lebih dari separuh warganya masih terjebak dalam kemiskinan. Bank Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2024, sekitar 60,3% penduduk Indonesia—setara 169,8 juta jiwa—hidup di bawah garis kemiskinan global.
Laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025 menyoroti jurang lebar antara pertumbuhan makro dan kesejahteraan masyarakat. Indonesia, meski dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income) bersama Malaysia dan Thailand, justru mencatatkan tingkat kemiskinan yang jauh lebih tinggi dibanding dua negara tetangganya tersebut.
Perbedaan Ukuran, Perbedaan Angka
Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran harian minimal US$ 6,85 atau sekitar Rp115.504 per orang. Sebaliknya, Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan garis kemiskinan lokal sebesar Rp595.242 per bulan, atau hanya sekitar Rp19.841 per hari—hampir enam kali lebih rendah dari standar Bank Dunia.
Tak heran, jika berdasarkan definisi BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia hanya 8,57% atau 24,06 juta orang per September 2024. Bahkan angka ini diklaim sebagai yang terendah sejak penghitungan dimulai pada era 1960-an.
Namun angka itu menyisakan paradoks: 40% dari mereka yang digolongkan sebagai miskin oleh BPS, nyatanya adalah orang yang bekerja.
![]() |
Macro Poverty Outlook World Bank, April 2025: Indonesia diperkirakan hanya tumbuh 4,8% tahun ini (World Bank) |
Pekerja yang Tetap Miskin
Fenomena "working poor" ini menunjukkan bahwa memiliki pekerjaan di Indonesia belum tentu membawa kesejahteraan. Berdasarkan Susenas Maret 2024, sekitar 39,82% dari penduduk miskin atau lebih dari 10 juta orang merupakan pekerja aktif, terutama di sektor pertanian informal dengan produktivitas rendah.
"Selama satu dekade, angkanya tak banyak berubah. Ini sinyal bahaya bahwa pertumbuhan ekonomi belum menciptakan lapangan kerja yang layak," tulis analis BPS, Lili Retnosari dan Nuri Taufiq dalam kajiannya.
Kondisi ini diperparah oleh menurunnya daya serap sektor manufaktur, yang selama ini menjadi penopang kelas menengah. LPEM FEB UI mencatat bahwa pelemahan sektor ini berdampak pada menurunnya produktivitas dan upah, yang pada akhirnya mendorong banyak pekerja kelas menengah kembali ke sektor informal.
Ketimpangan Membayangi
Meskipun tingkat kemiskinan versi BPS menunjukkan tren menurun, indeks ketimpangan atau gini ratio justru meningkat menjadi 0,381 per September 2024—angka tertinggi sejak awal pandemi.
Kondisi ini menggambarkan bahwa pemerataan hasil pembangunan belum tercapai. Pertumbuhan ekonomi tampaknya lebih menguntungkan kalangan atas, sementara sebagian besar masyarakat masih berjuang bertahan hidup.
![]() |
Kelas Menengah Turun Kasta, Kesejahteraan Merosot (Bloomberg Technoz) |
Saatnya Reformasi Kebijakan Tenaga Kerja
Para ekonom menilai bahwa kebijakan pembangunan perlu dirombak. Fokus seharusnya bukan semata pada investor atau angka makroekonomi, melainkan pada kesejahteraan pekerja.
![]() |
Proporsi disposable income terhadap PDB per kapita masyarakat Indonesia trennya terus menurun (Bloomberg Technoz) |
Langkah-langkah seperti formalisasi sektor informal, peningkatan produktivitas di pedesaan, serta sistem perlindungan sosial yang mencakup semua kalangan, menjadi sangat krusial.
"Tanpa perubahan ekonomi politik yang menempatkan pekerja sebagai pusat pembangunan, angka kemiskinan tak akan pernah benar-benar turun secara bermakna," tegas Lili.
Biar nggak ketinggalan info penting, yuk follow Channel WhatsApp Suarana.com!
Editor: Rizki R
Sumber: BloombergTechnoz.com
Via
BERITA UTAMA