Polemik Pendidikan Di Karawang, Larangan LKS Dikangkangi, Pungutan Membebani Wali Murid
KARAWANG | Suarana.com - Setelah ramai video perkelahian siswi di Karawang yang viral di media sosial, perhatian publik kini tertuju pada persoalan lain yang tak kalah serius di dunia pendidikan.
Di balik larangan resmi dari Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Karawang, sejumlah sekolah dasar (SD) dan menengah pertama (SMP) negeri di wilayah Karawang diduga masih melakukan praktik pungutan liar (pungli), termasuk penjualan Lembar Kerja Siswa (LKS).
Larangan tersebut sebenarnya telah tertuang dalam Surat Edaran nomor 400.3.5/2458/Disdikpora tertanggal 28 Oktober 2024 lalu, yang melarang keras penjualan LKS di sekolah. Namun, praktik tersebut ternyata masih marak dilakukan dengan modus melibatkan orang tua siswa sebagai juru tagih.
Salah satu wali murid yang meminta identitasnya dirahasiakan mengaku bahwa pungutan untuk LKS mencapai ratusan ribu rupiah, ditambah biaya lainnya seperti penebusan rapor sebesar Rp50 ribu per siswa.
“Bagi yang mampu mungkin ini biasa saja, tapi bagi kami yang kurang mampu, uang segitu lebih baik untuk beli beras,” ujarnya (08/01/2025).
Ia juga menyebut bahwa pungutan dilakukan tanpa bukti pembayaran seperti kwitansi, sehingga seolah sengaja menghindari jejak administratif.
“Kami bingung harus mengadu ke mana,” tambahnya.
Tak hanya itu, keluhan juga datang dari YR, seorang wali murid di salah satu SMP di Karawang Timur, yang mempertanyakan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Memangnya ke mana dana BOS? Kenapa masih banyak pungutan?” tanyanya.
YR bahkan harus menghadapi kenyataan pahit saat tidak mampu membayar biaya sampul rapor anaknya sebesar Rp70 ribu. Anak YR akhirnya merasa malu karena rapornya berbeda dengan milik teman-temannya yang menggunakan sampul.
“Anak saya sampai bilang malu, Pak. Teman-temannya pakai sampul, dia tidak,” ungkapnya dengan nada sedih (08/01/2025).
Di sisi lain, seorang kepala sekolah di Karawang mengaku dan mengklaim bahwa LKS hanyalah buku penunjang, dan tidak ada kewajiban bagi siswa untuk membelinya.
“LKS itu opsional, harga yang kami jual juga Rp130 ribu. Kalau tidak mau beli, tetap bisa belajar,” jelasnya melalui pesan WhatsApp (06/01/2025).
Meski demikian, praktik ini menimbulkan polemik yang mendalam. Masyarakat mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menjamin pendidikan gratis, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Hingga berita ini diturunkan, media masih berupaya menghubungi Disdikpora Karawang dan DPRD Komisi IV untuk meminta klarifikasi atas dugaan pungli yang terus terjadi di sejumlah sekolah negeri di Karawang.