BERITA UTAMA
KARAWANG
PENDIDIKAN
PERISTIWA
0
Peristiwa ini saya dengar sendiri ketika hendak membeli ponsel melalui grup jual beli online. Saya sepakat bertemu dengan penjual di depan RS Lira Medika, Karawang, pada Senin (27/01/2024).
Setelah memeriksa kondisi ponsel dan membayarnya, penjual tersebut tiba-tiba bercerita dengan nada sedih.
"Ini ponsel satu-satunya yang saya miliki, Pak. Terpaksa saya jual untuk membeli LKS anak saya," ujar awa Senin (27/01).
"Saya ingin anak saya tetap sekolah dan belajar dengan baik. Walaupun harus mengorbankan barang yang saya punya, saya akan lakukan demi masa depannya," tuturnya.
Pengalaman ini membuka mata akan kenyataan di lapangan. Meski pemerintah mengklaim pendidikan dasar dan menengah gratis, banyak wali murid masih terbebani oleh pungutan-pungutan, seperti pembelian LKS.
Kisah sang ayah ini menjadi cerminan perjuangan banyak orang tua yang rela berkorban demi pendidikan anaknya, meski harus mengorbankan kebutuhan mereka sendiri.
Masyarakat kecil seperti sang ayah ini tentu berharap agar pemerintah lebih serius dalam mengawasi dan menghapuskan praktik pungutan liar (pungli) di sekolah. Pendidikan seharusnya menjadi hak setiap anak tanpa membebani keluarga mereka secara berlebihan.
Hingga berita ini diterbitkan, redaksi Suarana belum melakukan konfirmasi langsung kepada pihak sekolah terkait dugaan pungutan untuk pembelian LKS ini. Kami akan terus berupaya menghubungi pihak sekolah untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut.
Sebagai penutup, perjuangan orang tua seperti ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk lebih peduli pada nasib pendidikan masyarakat kecil.(*)
Demi LKS untuk Anak tetap Sekolah, Seorang Ayah di Karawang Rela Jual Ponsel Satu-Satunya
KARAWANG | Suarana.com - Kisah seorang ayah di Karawang yang rela menjual ponsel satu-satunya demi membeli Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk anaknya menjadi potret perjuangan keras masyarakat kecil demi pendidikan.
Peristiwa ini saya dengar sendiri ketika hendak membeli ponsel melalui grup jual beli online. Saya sepakat bertemu dengan penjual di depan RS Lira Medika, Karawang, pada Senin (27/01/2024).
Setelah memeriksa kondisi ponsel dan membayarnya, penjual tersebut tiba-tiba bercerita dengan nada sedih.
"Ini ponsel satu-satunya yang saya miliki, Pak. Terpaksa saya jual untuk membeli LKS anak saya," ujar awa Senin (27/01).
Ia menjelaskan bahwa dirinya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Anaknya saat ini bersekolah di SMPN 1 Majalaya, dan ia mengaku berat hati harus menjual ponsel yang digunakan untuk mencari pekerjaan. Namun, demi pendidikan anaknya, ia rela mengorbankan kebutuhannya sendiri.
"Saya ingin anak saya tetap sekolah dan belajar dengan baik. Walaupun harus mengorbankan barang yang saya punya, saya akan lakukan demi masa depannya," tuturnya.
Pengalaman ini membuka mata akan kenyataan di lapangan. Meski pemerintah mengklaim pendidikan dasar dan menengah gratis, banyak wali murid masih terbebani oleh pungutan-pungutan, seperti pembelian LKS.
Kisah sang ayah ini menjadi cerminan perjuangan banyak orang tua yang rela berkorban demi pendidikan anaknya, meski harus mengorbankan kebutuhan mereka sendiri.
Masyarakat kecil seperti sang ayah ini tentu berharap agar pemerintah lebih serius dalam mengawasi dan menghapuskan praktik pungutan liar (pungli) di sekolah. Pendidikan seharusnya menjadi hak setiap anak tanpa membebani keluarga mereka secara berlebihan.
Hingga berita ini diterbitkan, redaksi Suarana belum melakukan konfirmasi langsung kepada pihak sekolah terkait dugaan pungutan untuk pembelian LKS ini. Kami akan terus berupaya menghubungi pihak sekolah untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut.
Sebagai penutup, perjuangan orang tua seperti ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk lebih peduli pada nasib pendidikan masyarakat kecil.(*)
Via
BERITA UTAMA