HEADLINE
JAKARTA
NASIONAL
0
Kombes Dr. Dedy Tabrani Soroti Kelemahan Program Deradikalisasi di Indonesia
Program Deradikalisasi Perlu Revisi: Kombes Dr. Dedy Tabrani Ungkap Kelemahan dalam FGD. |
JAKARTA | Suarana.com - Dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Aktualisasi Diri Peserta Didik Sespimti ke-33" yang diadakan di Hotel Cosmo Amarossa, Cipete, Jakarta Selatan, pada Senin, 29 Juli 2024, Kombes Dr. Dedy Tabrani mengungkapkan bahwa program deradikalisasi di Indonesia belum sepenuhnya dijalankan sesuai dengan Undang-Undang Terorisme yang berlaku.
"Program deradikalisasi tidak dijalankan secara integratif dan berkesinambungan," tegas Dedy Tabrani. Sebagai bagian dari tugas akhirnya di Sespimti ke-33, Dedy memaparkan data dari naskah strategis perorangan yang ia tulis. Data tersebut menunjukkan bahwa dari 427 kasus terorisme yang ditangani sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 hingga 2022, sebanyak 25 kasus melibatkan residivis atau pelaku berulang.
Dedy menekankan pentingnya kolaborasi yang berkesinambungan antara berbagai lembaga pemerintah seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Densus 88 Anti Teror, kejaksaan, dan lembaga pemasyarakatan. "Dibutuhkan peraturan teknis sebagai modul acuan untuk menjalankan program deradikalisasi secara integratif dan berkelanjutan," tambahnya.
Irjen Edi Hartono, yang membimbing penulisan naskah strategis Dedy, menekankan bahwa deradikalisasi harus dilakukan secara sistematis, terpadu, dan berkelanjutan. Menurutnya, salah satu masalah yang sering muncul adalah kurangnya koordinasi antara petugas lembaga pemasyarakatan yang mengurus narapidana.
Dr. Muh. Syauqillah dari Universitas Indonesia juga memberikan masukan terkait penelitian Dedy, menyarankan agar BNPT berfokus pada tingkat strategis dan tidak terlibat dalam operasional. Syauqillah juga menyoroti perlunya pendekatan budaya atau kearifan lokal, seperti penggunaan musik daerah untuk mengurangi paham radikalisme.
Sementara itu, Dr. Solahudin dari Universitas Indonesia menyampaikan pandangan serupa, menekankan bahwa meskipun Undang-Undang Terorisme sudah kuat, justru hal tersebut dapat memperluas peluang residivisme. Ia berpendapat bahwa BNPT harus berperan pada tingkat strategis atau koordinasi, agar sistem peradilan pidana dijalankan oleh aparat penegak hukum.
Densus 88 Anti Teror Polri turut memberikan pandangannya, menekankan pentingnya pendekatan personal dalam pembinaan narapidana dan eks narapidana terorisme. Mereka juga memastikan kesinambungan transfer kegiatan dari petugas Densus 88 ke petugas lembaga pemasyarakatan, dan sebaliknya, untuk menunjukkan kehadiran negara dalam proses deradikalisasi.
Eks narapidana terorisme, Ustadz Sofyan Tsauri, menambahkan bahwa meskipun ada kasus residivis, banyak program deradikalisasi yang berhasil. "Banyak juga yang berhasil," katanya.
- Editor : Rizki R
Via
HEADLINE